Mungkin sulit dipercaya, tapi terdapat lebih banyak orang HIV+ di wilayah Asia-Pasifik dibandingkan di wilayah-wilayah lain di luar Afrika Sub-Sahara.
Pada tahun 2019, ada 5,8 juta orang di wilayah ini yang hidup dengan HIV, dengan sekitar 300.000 infeksi baru terjadi pada tahun tersebut. Sebagai perbandingan, jumlah infeksi baru di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah 170.000 orang; dan 120.000 orang di Amerika Latin.
Cina, India, dan Indonesia sendiri menyumbang hampir 75% dari total jumlah orang yang hidup dengan HIV di Asia-Pasifik.
Meskipun terdapat variasi yang beragam dalam hal penyebaran virus di seluruh kawasan tersebut, para ahli umumnya setuju bahwa secara keseluruhan, tanggapan terhadap HIV kawasan Asia-Pasifik masih tertinggal di belakang Afrika.
Di negara seperti Bangladesh, Pakistan, dan Filipina, jumlah infeksi baru terus meningkat, seiring dengan jumlah kematian terkait AIDS setiap tahunnya.
Peningkatan paling tajam ditemukan di Filipina, dengan kenaikan infeksi baru mencapai 200% antara tahun 2010 dan 2018. Dalam periode yang sama, jumlah infeksi baru juga meningkat di Pakistan (57%), Bangladesh (56%), Afghanistan (49%), dan Papua Nugini (26%).

Untuk memperingati Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember, seluruh artikel minggu ini membahas berita terbaru tentang HIV dan pengaruhnya bagi kita. Jika kamu menyukai apa yang kami lakukan, mohon pertimbangkan untuk memberi kami Like dan Follow media sosial kami (IG: @asiadotgay, dan FB: asiadotgay). Kamu juga bisa mendukung kami dengan berdonasi agar kami dapat terus membantu menyalurkan informasi penting lainnya seputar HIV dalam berbagai bahasa di seluruh Asia.
Populasi kunci yang terdampak
Di antara populasi yang berisiko, pria yang berhubungan seks dengan pria lain tetap berada di posisi paling rentan terhadap paparan HIV, terhitung sekitar 30% dari seluruh infeksi baru di tahun 2018.
Prevalensi HIV sangat tinggi terutama di daerah perkotaan: di Bangkok, Yangon, dan Yogyakarta, perkiraan persentase pria yang berhubungan seks dengan pria lain yg terinfeksi HIV berkisar antara 20% sampai 29%. Populasi berisiko lainnya termasuk orang-orang yang memakai narkoba jenis suntikan, transgender, pekerja seks, dan pekerja migran.
Tes HIV dan program pencegahan lainnya
Diagnosis yang terlambat tetap menjadi tantangan yang besar untuk menangani HIV. Di kawasan Asia-Pasifik, hanya sekitar 69% orang yang hidup dengan HIV yang mengetahui status mereka pada tahun 2018; angka ini naik dari 58% pada tahun 2015. Namun, angka tersebut menunjukkan bahwa hampir 2 juta orang tidak tahu bahwa mereka positif HIV.
Angkanya sangat bervariasi di wilayah tersebut. Di Thailand, misalnya, hampir 95% orang yang hidup dengan HIV sudah mengetahui statusnya. Dibandingkan dengan 37% di Bangladesh dan 14% di Pakistan.
Beberapa tema umum muncul ketika membahas tentang akses layanan untuk tes HIV.
Banyak orang di wilayah ini yang harus menghadapi stigma, diskriminasi dan lingkungan legal yang dapat memberi hukuman sehingga menghalangi mereka untuk mencari pertolongan medis secara terbuka. Homoseksualitas masih dikriminalisasi di berbagai negara.
Bagi kebanyakan orang, penggunaan kondom tetap menjadi pilihan utama dalam pencegahan HIV, dan umumnya berhasil. Namun, studi tahun 2018 yang melibatkan orang yang hidup dengan HIV di Bangladesh, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan, Filipina, dan Vietnam menemukan bahwa 43% dari 3.400 peserta tidak menggunakan kondom secara teratur dengan pasangannya.
Peserta dari Filipina memiliki kebiasaan dengan risiko tertinggi. Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan presiden Filipina, Duterte, yang secara terbuka melarang warganya untuk menggunakan kondom, menggambarkannya sebagai memakan permen bersama dengan bungkusnya.
Bagaimana selanjutnya?
Untuk wilayah seluas Asia Pasifik, epidemi HIV tampak rumit dan membingungkan. Namun terdapat bidang perhatian utama yang serupa – yaitu, peningkatan penyebaran di antara pria yang berhubungan seks dengan pria lain, dan pada orang transgender. Di beberapa bagian di wilayah Asia, jumlah pengujian dan cakupan perawatan yang rendah masih terus menjadi tantangan.
Bidang lainnya adalah kurangnya lingkungan kebijakan nasional yang mendukung.
Tanpa hal ini, populasi yang berisiko akan terus mengalami stigma dan diskriminasi, yang menghalangi mereka untuk mencari upaya pencegahan dan pengobatan. Menguji undang-undang dan membahas norma-norma sosial, seksual, dan gender yang berbahaya sangat penting dalam upaya pemberian tanggapan HIV yang efektif di wilayah tersebut.