Kalau kamu adalah seorang biseksual, ternyata, kamu lebih mungkin mengalami gangguan makan daripada pria gay atau heteroseksual.
Menurut laporan baru dari University of California San Francisco (UCSF) yang diterbitkan dalam jurnal Eating and Weight Disorders, pria biseksual bahkan lebih rentan terhadap beberapa kebiasaan makan yang tidak sehat, meskipun banyak penelitian yang menunjukkan peningkatan risiko gangguan makan pada pria gay-termasuk melakukan puasa, olahraga berlebihan dan terlalu terobsesi dengan berat badan dan bentuk tubuh.
Dalam studi yang melibatkan lebih dari 4.500 orang LGBTQ dewasa, 25% pria biseksual dilaporkan berpuasa selama lebih dari delapan jam untuk mengontrol berat badan atau penampilan mereka, dibandingkan dengan 20% pria gay. Sekitar 80% pria biseksual juga melaporkan bahwa mereka “merasa gemuk”, dan 77% memiliki keinginan yang kuat untuk menurunkan berat badan, dibandingkan dengan 79% dan 75% pria gay.
Tentu saja, tidak semua orang yang melakukan diet atau merasa gemuk memiliki gangguan makan, kata salah satu peneliti studi tersebut, Dr Jason Nagata, seorang profesor kedokteran anak di UCSF. “Ini adalah sebuah spektrum – dari sekedar rasa khawatir hingga titik kritis di mana hal itu menjadi obsesi patologis tentang berat badan dan penampilan orang tersebut,” kata Nagata.
Dari seluruh responden, 3,2% pria biseksual telah didiagnosis secara klinis menderita gangguan makan, dibandingkan dengan 2,9% lelaki gay. Sisanya adalah 0,6% pria heteroseksual, menurut penelitian dari Yale University School of Medicine.
Nagata mengatakan perbedaan tersebut menekankan perlunya melakukan penelitian tentang gangguan makan pada berbagai identitas seksual secara mandiri. “Studi sebelumnya tentang gangguan makan pada pria minoritas seksual dilakukan dengan mengelompokkan pria gay dan biseksual dalam satu kelompok, jadi sulit untuk memahami karakteristik unik pada pria biseksual.”
Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam studi ini, katanya, termasuk “stres minoritas,” konsep bahwa kecemasan yang meningkat yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang termarjinalkan dapat bermanifestasi dalam bentuk kesehatan mental dan fisik yang buruk.
“Orang-orang LGBTQ mengalami stigma dan diskriminasi, dan penyebab stres tersebut juga bisa menyebabkan pola makan yang tidak teratur,” kata Nagata. “Untuk laki-laki bi, mereka tidak hanya menghadapi stigma dari komunitas hetero, tetapi juga dari komunitas gay.”
Pengacara dan penulis biseksual Zachary Zane mengatakan bahwa “diskriminasi ganda” ini sering kali mengarah pada rasa kesepian, depresi, dan ketakutan untuk mengakui identitas seksualnya.
“Kami menghadapi pengucilan dari kedua sisi, atau jika kami didukung oleh komunitas LGBTQ, itu karena kami menyembunyikan diri kami yang sebenarnya,” kata Zane. “Ketika kamu merasa segalanya berada di luar kendali, [food] adalah sesuatu yang bisa kamu kendalikan. Saya bisa mengerti betapa menariknya hal tersebut. “
Sekitar 30% pria bi dalam survei ini melaporkan bahwa mereka takut kehilangan kendali atas kebiasaan makan mereka, dan hampir sepertiganya mengatakan bahwa mereka kesulitan fokus pada pekerjaan atau aktivitas lain karena mereka selalu memikirkan makanan, kebiasaan makan, atau kalori.
Sementara kedudukan binge eating atau makan berlebihan antara pria gay dan bi serupa dalam laporan ini, sebuah studi oleh Asosiasi Psikiatri Amerika 2018 terhadap mahasiswa menemukan bahwa pria biseksual tiga kali lebih mungkin makan berlebihan daripada teman sekelas mereka yang gay dan lima kali lebih mungkin dibandingkan mahasiswa pria heteroseksual.