Ada sebuah cerita tentang seorang ahli antropologi. Seseorang bertanya padanya: “Kalau kamu tahu begitu banyak tentang ilmu kemanusiaan, bagaimana bisa ketiga pernikahanmu gagal semua?”
Ia menjawab: “Pernikahan saya tidak ada yang gagal, tapi mereka berakhir.”
Ada filosofi budaya yang mencirikan bahwa hubungan yang sukses dan bermakna adalah hubungan yang langgeng. Artikel ini ada untuk memberi tahu mu bahwa hal itu jauh dari kenyataannya.
Karena kepercayaan yang sudah mengakar ini, banyak orang menyalahkan diri sendiri ketika hubungan mereka berakhir. Mereka pikir mereka gagal sebagai seorang pribadi, atau malah mereka menjadi sengsara karena mencoba mempertahankan hubungan yang tidak bisa bertahan. Hubungan bisa saja bersifat sementara, atau bahkan sekilas, dan ketika berakhir, tidak berarti orang-orang yang terlibat di dalamnya itu gagal, atau hubungan tersebut adalah sia-sia.
Yang seharusnya diperjuangkan orang-orang bukanlah panjangnya umur sebuah hubungan, tetapi kepuasan dari pengalaman tersebut.
Sebuah konstruksi heteronormatif?
Gagasan tentang panjangnya sebuah hubungan di atas segalanya ini bisa dibilang berasal dari konstruksi heteronormatif yang dibangun di atas lembaga pernikahan, sebuah gagasan tentang “sampai maut memisahkan kita”.
Meskipun mungkin niatnya baik, ide ini bisa menjadi racun jika dipegang terlalu berlebihan. Dan hal ini berlaku untuk semua jenis hubungan, baik gay atau tidak.
Ada begitu banyak alasan mengapa terkadang perceraian atau putus cinta lebih baik bagi kedua belah pihak daripada jika kamu mencoba “membuatnya berhasil”. Hal ini bisa membuka lebih banyak kesempatan bagi kamu dan pasangan untuk belajar dan tumbuh serta menjadi bahagia.
Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menyerah begitu saja pada hubungan kita setiap kali kita menghadapi konflik atau kesulitan. Tetapi kita juga harus belajar mengenali kapan saatnya untuk mengakhiri suatu hubungan. Tidak ada salahnya melakukan yang terbaik untuk diri sendiri.
Ini bahkan merangkap tentang cinta itu sendiri. Ketika saya putus dengan mantan saya beberapa tahun yang lalu, kami masih saling mencintai satu sama lain. Dan saya masih mencintainya untuk waktu yang lama bahkan setelahnya.
Ngomong-ngomong, saya mencintainya bukan berarti saya ingin kembali dengan dia, saya senang dia ada sebagai seseorang, dan saya tidak butuh dia melakukan apa pun untuk saya, saya hanya ingin dia bahagia.
Tapi pikiran bahwa suatu hari saya mungkin berhenti mencintainya membuat saya takut. Saya tidak ingin hal itu terjadi, karena saya pikir cinta itu harusnya tanpa akhir. Tapi akhirnya hal itu memang terjadi, karena dia berubah dan saya pun berubah. Saya masih mencintai dia yang saya kenal selama periode yang dulu, tetapi saya telah belajar bahwa sebagian besar hal dalam hidup bersifat sementara.
Dan itu tidak apa-apa. Pengalaman yang saya miliki tentang dia dan dampaknya terhadap saya sebagai pribadi adalah bagian yang terpenting.
Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita harus memprioritaskan kelanggengan sebagai nilai dan harapan kita, tetapi juga menghargai momen yang kita dapatkan.
Simpan kenangannya di hatimu dan hargai pengalaman yang telah kamu dapatkan. Seperti Diane dari acara favorit saya Bojack Horseman pernah berkata: “Saya pikir ada orang-orang yang membantu mu menjadi dirimu yang sekarang, dan kamu dapat mensyukuri kehadiran mereka bahkan jika mereka tidak bertahan dalam hidup mu selamanya.”

This post is brought to you by PULSE CLINIC. PULSE CLINICS provide quality healthcare for all and are located in Thailand, Malaysia, Hong Kong, Singapore with a worldwide collaboration and support system. Here to help, not to judge.